Beranda | Artikel
Shalat Tarawih Seorang Diri Atau Berjamaah? Khataman Al-Quran Bidah?
Minggu, 3 November 2019

APAKAH SEBAIKNYA SHALAT TARAWIH SEORANG DIRI ATAU BERJAMAAH? APAKAH KHATAMAN AL-QUR’AN DI BULAN RAMADHAN BID’AH?

Pertanyaan
Saya pernah mendengar bahwa sunnahnya seorang muslim dalam menunaikan shalat Taraweh adalah seorang diri sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang diri setelah tiga hari (berjamaah). Apakah ini benar? Saya juga mendengar bahwa di antara (amalan) bid’ah adalah membaca Al-Qur’an semuanya pada shalat Taraweh di bulan Ramadan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan ini, apakah ini benar?

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama : Shalat qiyam (Taraweh) disyariatkan pada bulan Ramadan, baik secara berjama’ah maupun seorang diri. Pelaksanaan secara berjama’ah lebih utama dibanding seorang diri. Terdapat riwayat yang telah tetap dalam Ash-Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim), sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat dengan para shahabat beberapa malam. Ketika memasuki malam ke tiga  atau keempat beliau tidak keluar (untuk menunaikan shalat) bersama mereka. Ketika pagi hari beliau bersabda:

لَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. (رواه البخاري، رقم 1129 ، و فى لفظ مسلم، رقم 761) ولكنى خشيت أن تفرض عليكم الليل فتعجزوا عنها.

Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (menunaikan shalat) bersama kalian semua, melainkan  aku khawatir dia (qiyam) akan diwajibkan kepada kalian.” [HR. Bukhari, no. 1129]

Dalam redaksi Muslim, no. 761, (Beliau bersabda), “  وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلاةُ اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا  (Akan tetapi aku khawatir (qiyamul lail) diwajibkan kepada kalian, sehingga kalian tidak  mampu (melaksanakannya).”

Telah tetap bahwa berjama’ah dalam Tarawih ada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan bahwa penghalang untuk meneruskan shalatnya secara berjama’ah adalah khawatir diwajibkan. Dan ketakutan tersebut kini telah hilang dengan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, wahyu terputus, maka dengan demikian telah aman dari (turunnya wahyu) untuk mewajibkannya. Ketika illat (sebab suatu hukum) telah hilang yaitu takut diwajibkan dengan terputusnya wahyu, maka itu berarti harus kembali kepada ke sunnah (semula).” [Silakan lihat Syarhu Al-Mumti, karangan Syekh Ibnu Utsaimin, 4/78].

Imam Ibnu Abdul Bar rahimahullah berkata: “Hadits tersebut menunjukkan bahwa qiyam Ramadan merupakan salah satu sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disunnahkan dan dianjurkannya. Bukan  Umar bin Khattab yang mengadakan sunnah tersebut, dia cuma sekedar menghidupkannya. Sesuatu yang disukai dan diridai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab tidak ada yang menghalangi  beliau untuk terus menerus melakukannya selain kekhawatirannya hal tersebut diwajibkan kepada umatnya. Dan beliau –Shallallahu ‘alaihi wa sallam – dikenal  sangat mengasihi dan menyangi orang-orang  mukmin.

Maka ketika Umar mengetahui hal tersebut  dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengetahui bahwa kewajiban-kewajiban tidak boleh ditambah dan tidak boleh berkurang sepeninggal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka beliau kembali melakukan dan menghidupkan shalat Tarawih berjamah.  Hal itu terjadi pada tahun empat belas hijriyah,  sebagai karunia dan keutamaan  Allah padanya. [At-Tamhid, 8/108-109]

Para shahabat Radhiallahu’anhum sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan Tarawih secara berkelompok-kelompok dan sendiri-sendiri sampai Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka dengan satu Imam.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَالَ عُمَرُ : إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ ، قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ – يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ – وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ . رواه البخاري  1906

Abdurrhaman bin Abdun Al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadan, aku bersama Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berangkat menuju ke masjid. Ternyata orang-orang shalat berpencar-pencar. Ada yang shalat seorang diri, dan ada yang shalat dengan sejumlah orang yang mengikuti. Maka beliau berkata: “Demi Allah, sesungguhnya aku berpandangan, lebih baik kalau mereka dikumpulkan di belakang satu qari (imam). Setelah keinginan beliau bulat, mereka dikumpulkan dengan imam Ubay bin Ka’b. Kemudian saya keluar lagi bersama Umar pada malam lain. Sementara (kini) orang-orang menunaikan shalat dengan satu qari (imam). Maka Umat berkomentar:  “Inilah sebaik-baik bid’ah (sesuatu yang baru), waktu yang mereka gunakan untuk tidur (akhir malam) lebih baik dibandingkan waktu yang mereka gunakan untuk shalat –maksudnya akhir malam-. Pada awalnya, orang-orang waktu itu menunaikan shalat pada awal malam.”  [HR. Bukhari, no. 1906]

Syaikhul Islam berkata –ketika membantah orang membolehkan bid’ah dengan argumen perkataan Umar: Inilah sebaik-baik bid’ah-, “Adapun qiyam Ramadan  (Tarawih), sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  telah menganjurkan kepada umatnya. Beliau shalat dengan (para shahabat) secara berjama’ah beberapa malam. Mereka pada masanya menunaikan (shalat qiyam) secara berjama’ah dan seorang diri. Akan tetapi beliau tidak terus menerus melaksanakan dalam satu jama’ah agar tidak diwajibkan kepada umatnya. Ketika beliau wafat, maka syariat menjadi baku (tidak berubah). Pada masa (kekhalifahan) Umar Radhiallahu’anhu, beliau mengumpulkan (jamaah shalat Taraweh) dengan satu imam, yaitu Ubay bin Ka’b. Orang-orang shalat di belakangnya atas perintah Umar bin Khatab radhiallahu’anhu. Dan Umar Radhiallahu’anhu adalah salah seorang Khulafaur Rasyidin, yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ من بعدي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Peganglah dengan gigi geraham.

Karena ia adalah pegangan yang sangat kuat. Karena yang beliau laksanakan adalah sunnah Nabi, sedangkan beliau berkata: “Inilah sebaik-baik bid’ah.” Maka yang dimaksud  bid’ah di sini adalah dari sisi bahasa, karena mereka melaksanakan apa yang tidak mereka lakukan pada masa kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu berkumpul seperti demikian. Maka dia termasuk salah satu ajaran dalam syariat.” [Majmu Fatawa, 22/ 234, 235]

Kedua: Mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadan, baik dalam shalat maupun di luar shalat adalah perkara yang terpuji bagi pelakunya. Sungguh terdapat riwayat bahwa Jibril alaihis salam bertadarus   Al-Qur’an bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap bulan Ramadan. Bahkan pada pada tahun beliau wafat, beliau bertadarus dengannya dua kali.

Hal ini telah dijelasan pada soal jawab, no. 66504.

Wallahu ‘alam.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/13410-shalat-tarawih-seorang-diri-atau-berjamaah-khataman-al-quran-bidah.html